1. Pengertian Aqidah.
Dalam bahasa
Arab aqidah berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu
(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu
(اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu
biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada
keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah
keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan
kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya,
Rasul-rasul-Nya,
Kitab-kitab-Nya,
hari Akhir,
takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang
prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada
apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih,
serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara
amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih
serta ijma’ Salaf as-Shalih.
2. Fungsi Aqidah Dalam Kehidupan.
Aqidah
adalah dasar, fondasi untuk membangun agama Allah (Dinullah/Islam). Jika
diumpamakan sebuah bangunan, semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, maka
harus pula semakin kokoh fondasi yang dibuatnya. Sebab kalau fondasinya lemah
maka bangunan tersebut akan mudah runtuh/ambruk.
Seseorang yang memiliki aqidah yang
kokoh dan benar, pasti akan mampu melaksanakan ibadah yang tertib serta
memiliki akhlak yang baik dan benar pula, begitu juga cara bermuamalatnya dapat
berjalan dengan lebih baik, lebih lancer. Amalan/ibadah seseorang tidak akan
diterima oleh Allah Rabbul ‘Alamin jioka tidak dilandasi dengan aqidah/iman
yang kokoh, baik dan benar. Seseorang tidak dapat dikatakan berakhlak mulia
yang sempurna bila tidak memiliki aqidah/iman yang kokoh dan sempurna.
Adapun fungsi aqidah dalam
kehidupan, yaitu:
1. Membebaskan
dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya
kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
2. Membentuk
pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun
duka.
3. Dia
merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang
rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut
mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah (outer focus of control).
4. Aqidah
memberikan kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada
Allah dan ridho terhadap segala ketentuan Allah.
5. Aqidah
Islamiyah adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara
miskin dan kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata,
antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi
Allah SWT.
3. Pokok-pokok
yang Terdapat Di Dalam Rukun Iman.
1.
Iman Kepada Allah Swt.
Pengertian iman kepada Allah ialah:
a) Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah
b) Membenarkan dengan yakin keesan-Nya, baik dalam
perbuatan-Nya menciptakan alam, makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima
ibadat segenap makhluknya.
c)
Membenarkan dengan
yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari sifat
kekurangan yang suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).
d) Dalam mengimani Allah swt. bukan berarti Al-Qur’an
memperkenalkan Allah swt. sebagai sesuatu yang bersifat ide atau material, yang
tidak dapat diberi sifat atau digambaran dalam kenyataan atau dalam keadaan
yang dijangkau oleh akal manusia.
Karena itu Al-Qur’an menempuh cara pertengahan dalam
memperkenalkan Tuhan, Dia, menurut Al-Qur’an antara lain Maha Mendengar, maha
melihat, hidup, berkehendak, menghidupkan dan mematikan.
Firman Allah QS. Al-A’raf (7): 80.
وَلُوطًاإِذْ
قَالَلِقَوْمِهِأَتَأْتُونَالْفَاحِشَةَمَاسَبَقَكُمبِهَا مِنْأَحَدٍ
مِّنالْعَالَمِينَ
Artinya:
Dan (Kami juga
telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada
mereka:`Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah
dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu? (QS. 7:80.)
Ayat di atas mengajak manusia untuk berdoa/menyerunya
dengan sifat-sifat-Nya, nama-nama yang terbaik itu dalam arti mengajak untuk
menyesuaikan kandungan permohonan dengan sifat yang disandang Allah, sehingga
jika seorang memohon rezeki ia menyeru Allah dengan sifat ar-Razak (pemberi
rezeki).
Dengan demikian setelah kita mengimani Allah, maka kita
membenarkan segala perbuatan dengan beribadah kepadanya, melaksanakan segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya, mengakui bahwa Allah swt. bersifat
dari segala sifat, dengan ciptaan-Nya di muka bumi sebagai bukti keberadaan,
kekuasaan, dan kesempurnaan Allah swt.
2.
Iman Kepada
Malaikat.
Beriman kepada malaikat ialah mempercayai bahwa Allah
mempunyai makhluk yang dinamai “malaikat” yang tidak pernah durhaka kepada
Allah, yang senantiasa melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan
secermat-cermatnya. Lebih tegas, iman akan malaikat ialah beritikad adanya
malaikat yang menjadi perantara antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, yang
membawa wahyu kepada rasul-rasul-Nya.
Malaikat selalu memperhambakan diri kepada Allah dan patuh
akan segala perintah-Nya, serta tidak pernah berbuat maksiat dan durhaka kepada
Allah swt.
Firman Allah swt. QS. Al-Anbiya (21): 27
Artinya:
Mereka
itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintah-Nya.
3.
Iman Kepada Kitab-Kitab Allah Swt.
Keyakinan kepada kitab-kitab suci merupakan rukun iman
ketiga. Kitab-kitab suci itu memuat wahyu Allah. Beriman kepada kitab-kitab
Tuhan ialah beritikad bahwa Allah ada menurunkan beberapa kitab kepada
Rasulnya, baik yang berhubungan itikad maupun yang berhubungan dengan muamalat
dan syasah, untuk menjadi pedoman hidup manusia. baik untuk akhirat, maupun
untuk dunia. Baik secara individu maupun masyarakat.
Jadi, yang dimaksud dengan mengimani kitab Allah ialah
mengimani sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Qur’an dengan tidak menambah dan
mengurangi. Kitab-kitab yang diturunkan Allah telah turun berjumlah banyak,
sebanyak rasulnya. Akan tetapi, yang masih ada sampai sekarang nama dan
hakikatnya hanya Al-Qur’an. Sedangkan yang masih ada namanya saja ialah Taurat
yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa dan Zabur kepada Daud.
Firman Allah swt. QS. Al-Furqan (25): 35
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا
مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَا مَعَهُ أَخَاهُ هَارُونَ وَزِيرًا
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Al Kitab (Taurat)
kepada Musa dan Kami telah menjadikan
Harun saudaranya, menyertai dia sebagai wazir (pembantu).
4.
Iman kepada Nabi dan Rasul
Yakin pada para Nabi dan rasul merupakan rukun iman
keempat. Perbedaan antara Nabi dan Rasul terletak pada tugas utama. Para nabi
menerima tuntunan berupa wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia. Rasul adalah utusan (Tuhan) yang
berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterima kepada umat manusia.
Di Al-Qur’an disebut nama 25 orang Nabi, beberapa
diantaranya berfungsi juga sebagai rasul ialah (Daud, Musa, Isa, Muhammad) yang
berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterima kepada manusia dan menunjukkannya
cara pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana manusia biasa lainnya Nabi dan Rasul pun hidup
seperti kebanyakan manusia yaitu makan, minum, tidur, berjalan-jalan, mati dan
sifat-sifat manusia lainnya. Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi sekaligus Rasul
terakhir tidak ada lagi rangkaian Nabi dan Rasul sesudahnya.
Firman Allah QS. Al-Ahzab (33): 40.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ
رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Terjemahnya:
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebagai Nabi yang terakhir beliau telah menyempurnakan
bangunan dinullah yang dimulai dikerjakan secara bertahap oleh para Nabi dan
Rasul sebelumnya. Yang wajib kita imani, sebagai Nabi yang diutus untuk seluruh
umat manusia sepanjang zaman sampai akhir kiamat.
Seorang muslim wajib beriman kepada seluruh Nabi dan
Rasul-Nya yang telah diutus oleh Allah SWT, baik yang disebutkan namanya maupun
yang tidak disebutkan namanya. Seorang muslim wajib membenarkan semua Rasul
dengan sifat-sifat, kelebihan, keistimewaan satu sama lain, tugas dan
mukjizatnya masing-masing seperti yang diperintahkan oleh Allah.
5.
Iman kepada hari Akhir
Rukun iman yang kelima adalah keyakinan kepada hari akhir.
Keyakinan ini sangat penting dalam rangkaian kesatuan rukun iman lainnya, sebab
tanpa mempercayai hari akhirat sama halnya dengan orang yang tidak mempercayai
agama Islam, itu merupakan hari yang tidak diragukan lagi.
Firman Allah SWT. QS. An-Nisa (4): 87.
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ رَيْبَ فِيهِ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
Terjemahnya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan
terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah.
Hari akhirat ialah hari pembalasan yang pada hari itu Allah
menghitung (hisab) amal perbuatan setiap orang yang suda dibebani tanggung
jawab dan memberikan putusan ganjaran sesuai dengan hasil hitungan itu.
Menurut sebagian ahli tauhid, hari akhirat ialah hari
manusia dibangkitkan dari kubur untuk digiring kepada ma’syar, tempat mereka
dikumpulkan sementara dan belum lagi ditentukan tempat mereka, surga atau
neraka. Dikatakan akhirat, karena hari itu adalah hari penghabisan yang
dinantikan oleh makhluk hidup dan tidak ada lagi yang hidup dan ditunggu-tunggu
sesudah hari kiamat terjadi.
6. Iman kepada qada
dan qadar
Makna qadar dan takdir ialah aturan umum berlakunya huykum
sebab akibat, yang ditetapkan olehnya sendiri. Definisi segala ketentuan,
undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT,
untuk segala yang ada.
Pengertian di atas sejalan dengan penggunaan qadar
di dalam Al-Qur’an berbagai macam bentuknya yang pada umumnya mengandung
pengertian kekuasaan Allah SWT, yang termasuk hukum sebab akibat yang berlaku
bagi segala makhluk hidup maupun yang mati.
Firman Allah QS. Al-Hijr (15): 21.
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ
وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلاَّ بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
Artinya:
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah
khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang
tertentu.
Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari
keimanan kepada qada dan qadar, ini antara lain:
- Melahirkan kesadaran bagi umat manusia bahwa segala sesuatu di dalam semesta ini berjalan sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan pasti oleh Allah SWT.
- Mendorong manusia untuk terus beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kehidupan baik di dunia maupun di akhirat, mengikuti hukum sebab akibat dari Allah SWT.
- Mendorong manusia untuk semakin dekat dengan Allah SWT.
- Menanamkan sikap tawakkal dalam diri manusia, karena manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, sedangkan nasibnya diserahkan kepada Allah SWT.
- Mendatangkan ketenangan jiwa dan ketentraman hidup, karena menyakini apapun yang terjadi adalah atas kehendak dan qadar Allah SWT.
Agama Islam
mengajarkan bahwa iman kepada Allah harus sebersih dan semurni mungkin, serta
menutup celah-celah yang dikhawatirkan masuknya syirik, kemudian mengancam
bahwa syirik itu dosa besar dan tidak dapat diampuni di sisi-Nya. Sebagaimana
yang dikatakan Allah dalam Al Qur’an surat An Nisa’ (4) ayat 48.
Artinya : “ Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
Macam-macam
syirik antara lain :
a) Syirik jalli (
terang-terangan), yakni menyembah selain Allah secara terang terangan, seperti
menyembah patung.
b) Syirik khafi (
tersembunyi), yakni selain percaya kepada Allah juga percaya kepada kekuatan selain
Allah, seperti mengundi nasib, mempercayai tempat-tempat sakti, benda keramat,
berobat ke dukun (dukun yang menyembuhkan ).
c) Syirik Asghar (
kecil), yakni berbuat sesuatu bukan karena Allah tetapi ingin mendapat pujian dari
manusia, seperti perbuatan riya.
d) Bid’ah,
artinya menambah-nambah dalam beribadah yang tidak diperbuat oleh Nabi SAW..